PHILOSOPHICAL EXPLANATION ON
MATHEMATICAL
EXPERIENCES OF THE FIFTH GRADE
STUDENTS
By Marsigit
Department of Mathematics
Education, Faculty of Mathematics and Science,
the State University of Yogyakarta
Ikhtisar Oleh
Aris Kartikasari
Struktur analisis
hermenetik yang disampaikan oleh Greimas, menunjukkan adanya hubungan
interelasi antara guru dan siswa.
Dari diagram Greima, siswa berperan sebagai
subjek berada di tengah dari proses belajar-mengajar matematika. Sedangkan guru
sebagai “sender” atau pengirim, dan juga sebagai pendorong siswa dalam belajar.
Transaksi antara siswa
dan guru akan terjadi apabila terdapat motivasi dari siswa. Selain itu
masalah-masalah yang dalam diagram adalah ‘constrain’ harus ada dalam
pembelajaran matematika agar siswa dapat menemukan solusinya. Sedangkan ‘anti-subjek’
akan muncul apabila ada masalah yang sangat ekstrim terjadi di kelas.
Menurut bapak Marsigit
sebagai penulis, menyatakan bahwa ada beberapa konsep penting dalam
pembelajaran matematika, yaitu terdiri dari: 1) epistemis kesetiaan 2) adanya
pembentukan masalah 3) hubungan antara fitur dari perangkat dan pengetahuan
target, 4) sesuatu yang obyektif, 5) keterlibatan siswa, dan 6) aksesibilitas.
K. stacey , dkk,
menyimpulkan bahwa epistemis kesetiaan, yang ia sebut 'kasih sayang ganda'. Dia
menyatakan bahwa apa yang mempengaruhi kepekaan kita adalah 'objek fenomenal', Selanjutnya
dia menyatakan, yang merujuk kepada Kant, bahwa sensibilitas adalah kapasitas untuk
menerima representasi di mana kita dipengaruhi oleh objek.
Dari dua sudut pandang
kita dapat belajar bahwa meskipun ada persamaan tentang hubungan antara subyek
dan obyek pembelajaran, namun tidak dapat diidentifikasi apa yang dimaksud
dengan 'ukuran kualitas pemetaan analogis antara fitur bahan dan pengetahuan
domain target ', kecuali bahwa untuk mengkategorikannya dapat dilakukan dengan sangat baik, baik,
memuaskan dan tidak memuaskan.
‘Aksesibilitas' adalah
kumpulan atau faktor psikologis yang timbul dalam penggunaan materi oleh siswa
tetapi tidak spesifik untuk siswa tertentu (ibid. hlm 2001).
Dari perbedaan
pengertian mengenai aksesibilitas, para ilmuan mendapatkan dua model
pembelajaran, yaitu LAB dan MAB. Siswa dalam kelompok MAB mengalami kebingungan
dengan mengingat nama-nama komponen baru. Dalam kelompok MAB, para siswa tidak
mengerti bahwa nilai relatif komponen didasarkan pada volume mereka. Dalam hal
kemampuan untuk menggeneralisasi melampaui model, para siswa bingung oleh
pergeseran dimensi yang jelas tampak. Model LAB lebih efektif pada penomoran desimal;
model LAB digunakan untuk lebih mentransparansi model penomoran; model LAB
adalah model lebih efektif untuk penomoran, model LAB model yang lebih baik
untuk nomor pembulatan desimal.
Siswa kelas lima lebih
susah untuk menggunakan model pembelajaran MAB, mereka harus mencari
berulang-ulang untuk mengatasi masalah, sedangkan untuk model LAB mereka lebih
mengerti tentang suatu materi. Karena dengan LAB mereka dapat berdiskusi dan
bertukar pikiran dalam kerja kelompok.
0 komentar:
Posting Komentar